Perangkat pembelajaran merupakan salah satu wujud
persiapan guru sebelum melaksanakan proses pembelajaran. Berdasarkan Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal
20, “perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan rencana pelaksanaan
pembelajaran yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar,
metode pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar.
Adapun pijakan utama bagi guru
dalam pengembangan perangkat pembelajaran adalah kurikulum yang digunakan pada
satuan pendidikan tersebut, demikian juga di sekolah inklusi.
1. Pengertian Kurikulum
Kurikulum dalam modul ini
diartikan sebagai seperangkat rencana atau pengaturan pelaksanaan pembelajaran
dan atau pendidikan yang di dalamnya mencakup pengaturan tentang tujuan, isi
(materi), proses dan evaluasi. Tujuan berarti apa yang akan dicapai , materi
berarti apa yang akan dipelajari, proses berarti apa yang akan dilakukan untuk
mencapai tujuan dan evaluasi berarti apa yang harus dilakukan untuk mengetahui
keberhasilan pencapaian tujuan. Kurikulum bisa bersifat makro, artinya
pengaturan tentang empat hal tersebut dalam skala nasional, tetapi juga bisa
bersifat mikro yaitu pengaturan tentang empat hal tersebut dalam konteks
pembelajaran di kelas.
2. Komponen
Kurikulum
Berdasarkan pengertian kurikulum
tersebut, secara umum terdapat empat komponen utama yang harus ada di dalam
kurikulum yaitu (1) tujuan (2) isi/ materi (3) proses dan (4) evaluasi.
a. Tujuan
Tujuan adalah seperangkat
kemampuan atau kompetensi yang akan dicapai setelah
para siswa menyelesaikan program
pendidikan dalam kurun waktu tertentu.
Tujuan pendidikan atau
pembelajaran secara umum terbagi ke dalam tiga jenis kemampuan, yaitu kemampuan
(1) kognitif,
(2) afektif, dan
(3) psikomotor. Kalau dilihat dari tingkatan atau ruang
lingkupnya, maka tujuan pendidikan dapat dibedakan ke dalam 4 tingkatan, yaitu
(1) tujuan pendidikan nasional,
(2) tujuan pendidikan lembaga/institusi,
(3) tujuan kurikuler, dan
(4) tujuan instruksional.
Tujuan pendidikan yang paling
penting untuk dicermati dan dipahami oleh para guru adalah tujuan pendidikan
pada level institusi (tujuan lembaga) dan tujuan pembelajaran pada level
pengajaran (tujuan instruksional). Jika dikaitkan dengan kurikulum terkini yang
berlaku di Indonesia saat ini, maka yang dimaksud dengan tujuan pendidikan atau
pembelajaran kurang lebih sama dengan standar kompetensi lulusan dan indicator
keberhasilan.
Jadi ada empat jenis kompetensi
(dalam kurikulum) yang harus dicermati oleh guru kaitannya dengan tujuan
pembelajaran dalam setting inklusif yaitu:
1) Standar kompetensi lulusan
(SKL)
2) Kompetensi Inti (KI)
3) Kompetensi dasar (KD)
4) Indikator keberhasilan
(indikator)
b. Isi
(Materi)
Materi adalah isi atau konten
yang harus dipelajari oleh siswa supaya bisa mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Materi pembelajaran bisa berupa informasi, konsep, teori, dan
lain-lain. Materi pembelajaran harus relevan atau mendukung terhadap pencapaian
kompetensi dasar dan standar kompetensi. Jika menggunakan kurikulum 2006
(KTSP), rumusan materi tidak lagi tersedia dalam kurikulum, tetapi harus dibuat
atau dikembangkan sendiri oleh sekolah/guru. Materi biasanya dikembangkan oleh
guru dengan mengacu kepada buku sumber yang relevan.
c. Proses
Proses adalah kegiatan atau
aktivitas yang akan dijalani oleh siswa supaya bisa menguasai materi yang
diajarkan dan bisa mencapai tujuan-tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.
Proses kurang lebih sama pengertiannya dengan kegiatan belajar mengajar (KBM)
atau pengalaman belajar, yakni serangkaian kegiatan pembelajaran yang
dilaksanakan oleh siswa bersama guru, baik di dalam maupun di luar kelas.
Proses pembelajaran biasanya terkait dengan penggunaan metode mengajar,
pemakaian media pembelajaran, pengalokasian waktu, penggunaan sumber belajar,
pengelolaan kelas dan lain-lain.
d. Evaluasi
Evaluasi adalah proses kegiatan
yang dilakukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan/ pencapaian tujuan-tujuan
pendidikan yang telah ditetapkan. Kegiatan evaluasi bertujuan untuk mengetahui
keberhasilan/ketuntasan belajar siswa dalam mencapai atau menguasai
kompetensi-kompetensi yang menjadi tujuan pembelajaran. Evaluasi juga ingin
mengetahui apakah proses pembelajaran telah berjalan secara efektif atau
optimal. Isu yang paling penting terkait dengan evaluasi adalah teknis atau
cara yang akan digunakan dalam evaluasi untuk mengetahui keberhasilan
pembelajaran.
3. Model
Pengembangan Kurikulum Inklusif
Setelah mempelajari empat
komponen kurikulum yang telah dipaparkan tersebut, maka pertanyaan berikutnya
adalah “Bagaimana model kurikulum untuk
siswa berkebutuhan khusus yang mengikuti pendidikan inklusif di sekolah
reguler?” . Ada empat kemungkinan model pengembangan kurikulum untuk
siswa berkebutuhan khusus yang mengikuti pendidikan di sekolah inklusif, yaitu
(1) model duplikasi, (2) model modifikasi, (3) model substitusi, (4) model
omisi.
a. Model
Duplikasi
Duplikasi artinya meniru atau
menggandakan. Meniru berarti membuat sesuatu menjadi sama atau serupa. Model
kurikulum, duplikasi berarti mengembangkan dan atau memberlakukan kurikulum
untuk siswa berkebutuhan khusus secara sama atau serupa dengan kurikulum yang
digunakan untuk siswa pada umumnya (regular). Jadi, model duplikasi adalah cara
dalam pengembangan kurikulum, bagi siswa-siswa berkebutuhan khusus dengan
menggunakan kurikulum yang sama seperti yang dipakai oleh anak-anak pada
umumnya. Model duplikasi dapat diterapkan pada empat komponen utama kurikulum,
yaitu tujuan, isi, proses dan evaluasi.
Duplikasi
tujuan berarti
tujuan-tujuan pembelajaran yang diberlakukan kepada anak-anak regular juga
diberlakukan kepada siswa berkebutuhan khusus. Dengan demikian, maka standar
kompetensi lulusan (SKL) yang diberlakukan untuk siswa regular juga
diberlakukan untuk siswa berkebutuhan khusus. Demikian juga dengan kompetensi
inti (KI), kompetensi dasar (KD) dan juga indikator keberhasilan.
Duplikasi
isi/materi berarti
materi-materi pembelajaran yang diberlakukan kepada siswa regular (umum) juga
diberlakukan sama kepada siswa-siswa berkebutuhan khusus. Siswa berkebutuhan
khusus memperoleh informasi, materi, pokok bahasan atau sub-pokok bahasan yang
sama seperti yang disajikan kepada siswa-siswa regular.
Duplikasi
proses berarti
siswa berkebutuhan khusus menjalani kegiatan atau pengalaman belajar mengajar
yang sama seperti yang diberlakukan kepada siswa-siswa regular. Duplikasi
proses bisa berarti kesamaan dalam metode mengajar, lingkungan/setting belajar,
waktu belajar, media belajar, atau sumber belajar.
Duplikasi
evaluasi,
berarti siswa berkebutuhan khusus menjalani proses evaluasi atau penilaian yang
sama sebagaimana yang diberlakukan kepada siswa-siswa regular. Duplikasi
evaluasi bisa berarti kesamaan dalam soal-soal ujian, kesamaan dalam waktu
evaluasi, teknik/cara evaluasi, atau kesamaan dalam tempat atau lingkungan
ketika evaluasi dilaksanakan.
b. Model
Modifikasi
Modifikasi berarti merubah untuk
disesuaikan. Dalam kaitan dengan model kurikulum untuk siswa berkebutuhan
khusus, maka model modifikasi berarti cara pengembangan kurikulum, dengan
memodifikasi kurikulum umum yang diberlakukan untuk siswa-siswa regular dirubah untuk disesuaikan dengan
kemampuan siswa berkebutuhan khusus. Dengan demikian, siswa berkebutuhan khusus
menjalani kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. Modifikasi
dapat diberlakukan (terjadi) pada empat komponen utama pembelajaran yaitu
tujuan, materi, proses dan evaluasi.
Modifikasi
tujuan,
berarti tujuan-tujuan pembelajaran yang ada dalam kurikulum umum dirubah untuk
disesuaikan dengan kondisi siswa berkebutuhan khusus. Sebagai konsekuensi dari
modifikasi tujuan, maka siswa berkebutuhan khusus akan memiliki rumusan
kompetensi sendiri yang berbeda dengan siswa-siswa regular, baik berkaitan
dengan standar kompetensi lulusan (SKL), kompetensi inti (KI), kompetensi dasar
(KD) maupun indikator.
Modifikasi
isi, berarti
materi-materi pelajaran yang diberlakukan untuk siswa regular dirubah untuk
disesuaikan dengan kondisi siswa berkebutuhan khusus. Dengan demikian, siswa
berkebutuhan khusus mendapatkan sajian materi yang sesuai dengan kemampuannya.
Modifikasi materi bisa berkaitan dengan keluasan, kedalaman dan atau tingkat
kesulitan. Artinya, siswa berkebutuhan khusus mendapatkan materi pelajaran yang
tingkat kedalaman, keluasan dan kesulitannya berbeda (lebih rendah) daripada
materi yang diberikan kepada siswa regular.
Modifikasi
proses,
berarti ada perbedaan dalam kegiatan pembelajaran yang dijalani oleh siswa
berkebutuhan khusus dengan yang dialami oleh siswa pada umumnya. Metode atau
strategi pembelajaran umum yang diberlakukan untuk siswa-siswa regular tidak
diterapkan untuk siswa berkebutuhan khusus. Jadi, mereka memperoleh strategi
pembelajaran khusus yang sesuai dengan kemampuannya. Modifikasi proses atau
kegiatan pembelajaran bisa berkaitan dengan penggunaan metode mengajar,
lingkungan/seting belajar, waktu belajar, media belajar, sumber belajar dan
lain-lain.
Modifikasi
evaluasi,
berarti ada perubahan dalam sistem penilaian untuk disesuaikan dengan kondisi
siswa berkebutuhan khusus. Dengan kata lain, siswa berkebutuhan khusus
menjalani system evaluasi yang berbeda dengan siswa-siswa lainnya. Perubahan
tersebut bisa berkaitan dengan perubahan dalam soal-soal ujian, perubahan dalam
waktu evaluasi, teknik/cara evaluasi, atau tempat evaluasi dan lain-lain.
Termasuk juga bagian dari modifikasi evaluasi adalah perubahan dalam kriteria
kelulusan, sistem kenaikan kelas, bentuk raport, ijazah dan lain-lain.
c. Model
Substitusi
Substitusi berarti mengganti. Dalam kaitan dengan model
kurikulum, maka substitusi berarti mengganti sesuatu yang ada dalam kurikulum
umum dengan sesuatu yang lain. Penggantian dilakukan karena hal tersebut tidak
mungkin diberlakukan kepada siswa berkebutuhan khusus, tetapi masih bisa
diganti dengan hal lain yang kurang lebih sepadan (memiliki nilai yang kurang
lebih sama). Model penggantian (substitusi) bisa terjadi dalam hal tujuan
pembelajaran, materi, proses atau evaluasi.
d. Model
Omisi
Omisi berarti menghilangkan. Dalam kaitan dengan model
kurikulum, omisi berarti upaya untuk menghilangkan sesuatu (bagian atau
keseluruhan) dari kurikulum umum, karena hal tersebut tidak mungkin diberikan
kepada siswa berkebutuhan khusus. Dengan kata lain, omisi berarti sesuatu yang
ada dalam kurikulum umum tidak disampaikan atau tidak diberikan kepada siswa
berkebutuhan khusus karena sifatnya terlalu sulit atau tidak sesuai dengan
kondisi anak berkebutuhan khusus. Bedanya dengan substitusi adalah jika dalam
substitusi ada materi pengganti yang sepadan, sedangkan dalam model omisi tidak
ada materi pengganti.
4. Prinsip
Pengembangan Kurikulum Inklusif
Ada beberapa prinsip penting
yang harus dijadikan acuan oleh para guru dalam mengembangkan kurikulum untuk
siswa berkebutuhan khusus dalam seting inklusif:
a. Kurikulum umum yang
diberlakukan untuk siswa regular perlu dirubah (dimodifikasi) untuk disesuaikan
dengan kondisi siswa berkebutuhan khusus.
b. Penyesuaian kurikulum dengan
kemampuan siswa berkebutuhan khusus bisa terjadi pada komponen tujuan, materi,
proses dan atau evaluasi.
c. Penyesuaian kurikulum tidak
harus sama pada masing-masing komponen. Artinya jika komponen tujuan dan materi
harus dimodifikasi, mungkin tidak demikian halnya dengan proses. Dst.
d. Proses penyesuaian juga tidak
harus sama untuk semua materi. Untuk materi tertentu perlu dimodifikasi, tetapi
mungkin tidak perlu untuk materi yang lain.
e. Proses modifikasi juga tidak
sama untuk semua mata pelajaran. Untuk mata pelajaran tertentu mungkin perlu
banyak modifikasi, tetapi mata pelajaran yang lain mungkin tidak perlu dimodifikasi.
f. Proses modifikasi juga tidak
sama pada masing-masing jenis kelainan. Siswa berkebutuhan khusus yang tidak
mengalami hambatan kecerdasan (tunanetra, tunarungu, tunadaksa) mungkin akan
sedikit membutuhkan modifikasi kurikulum. Sedangkan siswa yang mengalami
hambatan kecerdasan (tunagrahita) membutuhkan modifikasi hampir pada semua
komponen pembelajaran (tujuan, isi, proses dan evaluas).
5. Penerapan
Model Kurikulum
Ada empat kemungkinan model
kurikulum yaitu duplikasi, modifikasi,
substitusi dan omisi, dan ada empat komponen utama kurikulum yaitu tujuan, materi, proses dan evaluasi.
Mengembangkan kurikulum untuk siswa berkebutuhan khusus pada dasarnya adalah
memadukan antara model kurikulum dengan komponen kurikulum. Setiap satu
komponen dari model kurikulum dipadukan dengan setiap komponen dari komponen
kurikulum, sehingga akan terjadi 16 kemungkinan perpaduan (4 x 4). Lihat gambar
skematik berikut.
Gambar 1. Enam Belas Kemungkinan
Bentuk Penyesuaian Kurikulum dan Pembelajaran bagi Siswa Berkebutuhan Khusus di
Sekolah Inklusif
Gambar tersebut, menunjukkan
bahwa pada dasarnya ada 16 kemungkinan bentuk penyesuaian (model) kurikulum
untuk siswa berkebutuhan khusus, yaitu 4 kemungkinan model untuk tujuan
(1,2,3,4); empat kemungkinan model untuk materi (5,6,7,8); 4 kemungkinan model
untuk proses (9,10,11,12) dan 4 kemungkinan model untuk evaluasi (13,14,15,16).
Ketika seorang guru akan
merancang kurikulum untuk siswa berkebutuhan khusus, maka akan muncul 16
pertanyaan. Pertanyaan pertama adalah apakah tujuan pembelajaran yang akan
diberlakukan kepada siswa berkebutuhan khusus harus sama dengan siswa lainnya?
Ataukah dimodifikasi? Atau diganti (substitusi)? Atau dihilangkan sama sekali
(omisi)? Pertanyaan serupa diajukan berkenaan dengan materi pelajaran, proses,
dan terakhir terkait dengan cara evaluasi.
Ada kemungkinan bahwa tujuan
pembelajarannya disamakan (duplikasi), tetapi materinya harus dimodifikasi.
Kemungkinan lain adalah tujuan pembelajarannya dimodifikasi, materinya juga
dimodifikasi, tetapi prosesnya disamakan. Kemungkinan lain adalah bahwa tujuan
pembelajaran, materi, proses dan juga evaluasi semuanya harus dimodifikasi.
Modifikasi atau tidaknya suatu komponen sangat bergantung kepada kondisi, sifat
atau kadar dari komponen tersebut serta tingkat hambatan yang dialami oleh
siswa berkebutuhan khususnya. Semakin berat tujuan atau materi pembelajaran
yang ada, maka semakin perlu untuk dimodifikasi. Dan semakin berat hambatan
intelektual siswa, juga semakin perlu modifikasi dilakukan.
a. Kategori
Kurikulum ABK Dalam Setting Inklusif
Pada dasarnya, kurikulum untuk
siswa berkebutuhan khusus harus bervariasi sesuai dengan jenis hambatan yang
dialami oleh siswa. Artinya, setiap jenis hambatan (kelainan) membutuhkan
bentuk kurikulum yang berbeda. Namun demikian, katagorisasi kurikulum ABK dalam
seting inklusif secara umum dapat dibedakan dalam dua kelompok, yaitu (1)
kurikulum untuk ABK yang tidak mengalami hambatan kecerdasan, dan (2) kurikulum
untuk ABK yang mengalami hambatan kecerdasan, yaitu tunagrahita dan gangguan
lain yang disertai hambatan kecerdasan. Pembagian tersebut dilakukan karena
kedua kelompok ABK tersebut memiliki karakteristik yang sangat berbeda yang
berimplikasi terhadap pelaksanaan pembelajaran.
1) Kurikulum ABK yang tidak
Mengalami Hambatan Kecerdasan
Siswa berkebutuhan khusus yang
tidak mengalami hambatan kecerdasan seperti tunanetra, tunarungu, tunadaksa,
dan lain-lain hanya membutuhkan sedikit modifikasi dalam pembelajaran. Tujuan
dan materi pembelajaran umumnya tidak mengalami perubahan, demikian juga dengan
konten evaluasi. Mereka biasanya lebih banyak membutuhkan modifikasi dalam
proses pembelajaran yakni berkaitan dengan cara dan media dalam penyajian pembelajaran
2) Kurikulum ABK yang Mengalami
Hambatan Kecerdasan
Siswa berkebutuhan khusus yang
mengalami hambatan kecerdasan (tunagrahita dan gangguan lain yang disertai
hambatan kecerdasan), umumnya membutuhkan modifikasi hampir pada semua komponen
pembelajaran. Tujuan pembelajaran harus dimodifikasi, demikian juga dengan
materi, proses dan pelaksanaan evaluasi. Kecenderungan model kurikulum untuk
ABK yang mengalami hambatan kecerdasan nampak pada Tabel 2.
b. Modifikasi
Terlepas dari adanya sejumlah
kemungkinan model kurikulum yang bisa dipilih, Model
Modifikasi tampaknya merupakan model yang paling tinggi peluangnya
untuk diberlakukan) pada kurikulum siswa berkebutuhan khusus di sekolah
inklusif. Terbatasnya kemampuan intelektual pada siswa berkebutuhan khusus,
menyebabkan perlunya modifikasi hampir pada semua komponen dari kurikulum. Oleh
karena itu, setiap guru harus memiliki pemahaman dan kemampuan yang cukup
tentang apa dan bagaimana memodifikasi kurikulum. Sesuai dengan jumlah komponen
dalam kurikulum, maka ada empat target modifikasi kurikulum yaitu (1) modifikasi
tujuan, (2) modifikasi isi/materi, (3) modifikasi proses, dan (4) modifikasi
evaluasi. Berikut akan dijelaskan bagaimana cara modifikasi untuk masing-masing
komponenen tersebut:
1. Modifikasi tujuan
Ada empat tujuan pembelajaran
yang berada pada level satuan pendidikan (sekolah) yaitu standar kompetensi
lulusan (SKL), kompetensi inti (KI), kompetensi dasar (KD), dan indikator.
Pertanyaannya adalah apakah semua kompetensi tersebut harus dimodifikasi? Jika
ya, bagaimana cara melakukannya?
Ada beberapa prinsip sekaligus
cara yang harus diperhatikan oleh guru dalam melakukan modifikasi tujuan,
sebagai berikut.
a. Modifikasi tujuan
pembelajaran terutama bagi ABK yang mengalami hambatan kecerdasan.
b. Semakin umum atau luas suatu
tujuan (kompetensi), maka semakin kecil tuntutan untuk dilakukan modifikasi.
Semakin spesifik dan operasional suatu rumusan tujuan maka semakin perlu untuk
dilakukan modifikasi.
c. Berdasarkan prinsip pertama,
maka rumusan tujuan pendidikan nasional SKL dan KI) mungkin dibiarkan saja,
tidak perlu dimodifikasi karena tujuan-tujuan tersebut bersifat umum (global),
sehingga dapat mewadahi kompetensi-kompetensi yang ada pada siswa berkebutuhan
khusus.
d. Para guru sebaiknya
berkonsentrasi untuk mencermati dan melakukan upaya modifikasi pada level
kompetensi yang lebih spesifik, yakni KD
dan indikator.
e. Semakin tinggi tingkatan
kelas siswa tunagrahita, maka semakin tinggi keperluan untuk dilakukan
modifikasi dan semakin ekstrim kadar modifikasi yang dilakukan. Dan sebaliknya
semakin rendah tingkatan kelas, semakin kecil tuntutan untuk modifikasi. Hal
ini karena semakin tinggi tingkatan kelas maka semakin tinggi kesenjangan
antara kemampuan siswa tunagrahita dengan tuntutan kurikulum pada kelas
tersebut. Demikian sebaliknya.
f. Semakin berat tingkat
hambatan intelektual siswa berkebutuhan khusus, semakin ektrim sifat modifikasi
yang dilakukan, dan semakin ringan tingkat hambatannya maka semakin ringan pula
kadar modifikasinya.
g. Modifikasi tujuan
pembelajaran harus didasarkan kemampuan siswa berkebutuhan khusus yang
diperoleh dari hasil asesmen.
2. Modifikasi Isi/ Materi
Isi/materi adalah sesuatu yang
akan dibahas atau dipelajari oleh siswa untuk dapat mencapai tujuan atau
kompetensi yang telah ditetapkan. Isi atau materi pembelajaran bisa berupa
informasi, konsep, teori, pokok bahasan, sub-pokok bahasan dan lan-lain.
Beberapa contoh rumusan materi pembelajaran yang biasa ditemukan di sekolah
dasar di antaranya adalah sebagai berikut.
Konsep bilangan proses
fotosintetis peta wilayah Indonesia.
Bilangan ganjil konsep ekosistem
kesenian daerah
Konsep penjumlahan toleransi
beragama kebudayaan nasional
Konsep pengurangan hukum zakat
dst.
Benda geometrik tata cara sholat
Siswa berkebutuhan khusus yang
mengalami hambatan kecerdasan pada umumnya tidak bisa menyerap atau memahami
materi-materi pembelajaran yang disajikan untuk anak-anak regular. Oleh karena
itu, materi-materi pembelajaran yang ada (umum, reguler) harus dirubah
(dimodifikasi) untuk disesuaikan dengan kemampuan siswa berkebutuhan khusus.
Berikut ini beberapa prinsip sekaligus juga cara yang perlu dipertimbangkan
oleh guru pada saat melakukan modifikasi materi pembelajaran.
a. Ketika guru telah
memodifikasi tujuan (kompetensi dasar), maka otomatis materi pembelajaran juga
harus dimodifikasi, karena materi pembelajaran dirumuskan atas dasar tujuan
pembelajaran.
b. Tidak semua materi harus
dimodifikasi. Hal ini bergantung kepada sifat materi yang dipelajari, yakni
kesulitan, kerumitan, kedalaman atau keluasannya, juga bergantung kepada jenis
hambatan yang dialami oleh siswa.
c. Siswa berkbutuhan khusus yang
mengalami hambatan kecerdasan paling banyak membutuhkan modifikasi materi
pembelajaran.
d. Semakin bersifat akademik dan
abstrak suatu materi pelajaran, semakin perlu materi tersebut dimodifikasi.
Sejumlah materi dalam mata pelajaran kesenian mungkin tidak harus dimodifikasi,
tetapi materi-materi dalam mata pelajaran matematika dan IPA mungkin akan
banyak dimodifikasi.
e. Semakin berat hambatan
kecerdasan yang dialami siswa berkebutuhan khusus, semakin ekstrim proses
modifikasi materi, dan sebaliknya.
f. Proses modifikasi materi
harus didasarkan pada kondisi atau level kemampuan siswa berkebutuhan khusus
yang didasarkan pada hasil asesmen.
3. Modifikasi proses
Proses berkaitan dengan kegiatan
atau aktivitas yang akan dilaksanakan oleh siswa bersama guru, baik di kelas
maupun di luar kelas, supaya tujuan-tujuan yang telah ditetapkan bisa dicapai.
Proses pembelajaran juga diistilahkan “kegiatan pembelajaran” atau “pengalaman
pembelajaran”. Proses pembelajaran berkaitan dengan beberapa hal pokok, di
antaranya adalah hal-hal yang terkandung dalam pertanyaan-pertanyaan berikut.
a. Apa yang dilakukan oleh
siswa?
b. Apa yang dilakukan oleh guru?
c. Metode apa yang digunakan?
d. Dimana dan dalam situasi apa
pembelajaran akan dilaksanakan?.
e. Media dan sumber pembelajaran
apa yang digunakan?
f. Bagaimana pengaturan waktu
selama pembelajaran (seting waktu)?
g. Bagaimana pengaturan tempat
duduk (seting kelas)? Dsb.
Hambatan yang ada dalam diri
siswa berkebutuhan khusus, pada umumnya menyebabkan ABK tidak dapat mengikuti
proses pembelajaran yang dirancang bagi siswa-siswa pada umumnya (regular).
Waktu yang dibutuhkan untuk kegiatan pembelajaran mungkin berbeda, demikian juga
dengan cara penyampaian serta media dan sumber belajar yang digunakan. Dalam
kondisi tertentu, lingkungan belajar juga mungkin perlu dibedakan dengan siswa
lainnya (dimodifikasi).
Beberapa prinsip sekaligus cara
berikut, dapat dipertimbangkan oleh guru pada waktu akan memodifikasi proses
atau kegiatan pembelajaran bagi siswa berkebutuhan khusus di sekolah inklusif.
a. Kegiatan pembelajaran harus
dirancang dengan memperhatikan kelemahan yang dimiliki oleh siswa. Artinya cara
yang dilakukan oleh guru harus mampu mengatasi kelemahan siswa dan memanfaatkan
kelebihan yang ada padanya. Misalnya, untuk siswa tunanetra harus menekankan
suara yang bisa didengar, sedangkan untuk tunarungu harus menekankan pada
aktivitas visual yang dapat dilihat. Untuk siswa tunagrahita penekanan pada
kesederhanaan cara penyampaian sehingga mudah dipahami.
b. Modifikasi proses
pembelajaran berkaitan dengan beberapa aspek yaitu (1) pengaturan waktu, (2)
pemilihan dan penggunaan metode/cara (3) pengaturan tempat duduk dan lingkungan
belajar, (4) pengunaan media pembelajaran (5) penggunaan sumber/bahan
pembelajaran.
c. Siswa berkebutuhan khusus
yang mengalami hambatan kecerdasan dan prilaku membutuhkan modifikasi proses
yang lebih spesifik dan signifikan.
d. Semakin berat hambatan
intelektual dan atau prilaku siswa, semakin signifikan sifat dan kebutuhan akan
modifikasi proses.
e. Modifikasi proses seyogyanya
didasarkan pada karakteristik siswa berkebutuhan khusus, yang diperoleh melalui
asesmen.
Berikut disajikan beberapa
contoh modifikasi proses pembelajaran untuk beragam jenis hambatan yang ada
pada anak berkebutuhan khusus.
Jenis Hambatan
Contoh kemungkinan Modifikasi
Proses
Hambatan penglihatan
· Penyajian materi lebih
menekankan verbal/auditif. Guru berusaha memverbalkan berbagai informasi atau
objek yang ada di lingkungan.
· Penggunaan Braille sebagai
sarana baca tulis.
· Penggunaan alat/media
pembelajaran yang dapat diraba. Misalnya peta timbul, penggaris timbul dll.
· Penggunaan alat audio (tape,
recorder dll.) dalam pembelajaran.
· Penggunaan buku bicara,
computer bicara dan lain-lain media bicara.
Hambatan pendengaran
· Penyajian materi lebih
menekankan pada visual. Guru berusaha selalu tatap muka dengan siswa ketika
berbicara. Penggunaan tulisan, gambar atau media visual.
· Penggunaan bahasa isyarat
dalam berkomunikasi.
· Penempatan siswa tunarungu
pada tempat duduk di depan, supaya mudah bertatap muka dengan guru.
· Penggunaan alat bantu visual.
· Berbicara dengan gerakan bibir
yang jelas.
Hambatan kecerdasan
· Penyajian materi dengan
penjelasan yang sederhana. Bahasa yang mudah disertai dengan contoh –contoh.
· Penggunaan objek-objek konkrit
dalam penjelasan konsep.
· Pemberian materi dan
tugas-tugas yang kadarnya lebih mudah.
· Pemberian pembelajaran
tambahan secara individual di luar jam belajar bersama.
· Penekanan pembelajar pada
kompetensi-kompetensi fungsional (skill yang dibutuhkan untuk kemandirian dalam
aktivitas kehidupan sehari-hari).
· Pemanfaatan teman sekelas
(sebangku) sebagai tutor.
· Penglibatan dalam kerja
kelompok.
· Waktu pembelajaran yang
ditambah (diperpanjang).
Hambatan fisik dan motorik.
· Modifikasi berbagai alat,
sarana dan lingkungan yang memungkinka/memudahkan mereka untuk terlibat dalam
berbagai aktivitas. Misalnya penggunaan kursi roda, jalan yang landai untuk
lintasan kursi roda, papan tulis yang pendek, tempat duduk/kursi yang
disesuaikan dengan kondisi anak dll.
· Penurunan tuntutan atau
standar pada kegiatan-kegiatan yang melibatkan gerakan (mobilitas).
Hambatan emosi dan prilaku
· Modifikasi prilaku dan emosi
melalui kegiatan kelompok.
· Pemberian pembelajaran
tambahan secara individual.
· Penempatan tempat duduk dekat
dengan guru.
· Penyaluran bakat pada bidang
keahlian tertentu.
4. Modifikasi Evaluasi
Evaluasi adalah proses yang
dilakukan untuk mengetahui tingkat kemampuan atau prestasi yang dicapai oleh
siswa berkebutuhan khusus setelah menjalani proses pembelajaran dalam kurun
waktu tertentu di kelas inklusif. Evaluasi juga dimaksudkan untuk mengetahui
apakah tujuan-tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan sebelumnya sudah
tercapai atau belum. Pelaksanaan evaluasi mencakup empat komponen utama
berikut.
a. pengembagan alat/instrumen
evaluasi,
b. cara pelaksanaan evaluasi
c. penentuan keberhasilan dan
d. pelaporan hasil evaluasi.
a. Pengembangan Alat/ Instrumen
Evaluasi
Instrumen evaluasi berupa
perangkat soal-soal ujian yang digunakan untuk mengukur keberhasilan belajar.
Komponen ini berkaitan dengan isi atau materi yang diujikan kepada siswa. Salah
satu isu terkait dengan komponen ini adalah “Apakah siswa berkebutuhan khusus
diuji dengan menggunakan soal-soal ujian yang sama seperti anak pada umumnya”?
ABK yang tidak mengalami hambatan kecerdasan (misalnya tunanetra, tunarungu,
tunadaksa dll.) umumnya menggunakan soal-soal ujian yang sama sebagaimana
soal-soal yang diperuntukkan bagi anak-anak lainnya. Sedangkan ABK yang
mengalami hambatan kecerdasan (tunagrahita) menjalani ujian dengan menggunakan
soal-soal yang berbeda, yakni soal yang disesuaikan dengan kemampuan mereka.
Penyusunan butir soal harus didasarkan pada tujuan dan materi pembelajaran yang
disajikan. Ketika tujuan dan materi dimodifikasi, maka butir soalpun harus
dimodifikasi. Berikut adalah contoh modifikasi soal ujian yang dikembangkan
dari tujuan dan materi yang telah dimodifikasi sebelumnya.
b. Cara Pelaksanaan Evaluasi
Cara pelaksanaan evaluasi
berkaitan dengan cara atau teknik yang digunakan dalam mengukur keberhasilan
belajar siswa. Termasuk bagian dari komponen cara adalah pengaturan tentang
waktu, alat dan juga lingkungan (seting) pelaksanaan evaluasi. Beberapa
pertanyaan terkait dengan komponen ini adalah “apakah siswa berkebutuhan khusus
harus dievaluasi dengan cara yang sama seperti anak “normal”? apakah anak
berkebutuhan khusus harus dievaluas dengan cara tes tulis, lisan atau tindakan?
Apakah anak berkebutuhan khusus harus dievaluasi dengan menggunakan peralatan
khusus? Atau adakah cara lain yang dianggap lebih relevan? Tunagrahita,
Tunanetra dan tunarungu umumnya membutuhkan modifikasi dalam hal cara evaluasi,
sedangkan tunadaksa tidak terlalu banyak membutuhkan modifikasi. Berikut
disajikan beberapa contoh modifikasi evaluasi berkaitan dengan cara/proses.
Contoh
Modifikasi Evaluasi (Cara/Proses)
Jenis Hambatan
Contoh modifikasi cara evaluasi
Tunanetra
· Soal-soal ujian ditulis dalam
bentuk braille.
· Soal-soal ujian dibacakan oleh
orang awas. Siswa tunanetra menjawab dengan tulisan braille.
· Soal ujian dibacakan dan siswa
tunanetra menjawab secara lisan, kemudian dituliskan oleh pembaca soal.
· Ujian dengan menggunakan
komputer bicara.
· Waktu ujian agak diperpanjang,
karena penggunaan braille lebih banyak membutuhkan waktu.
Tunarungu
· Menghilangkan bentuk tes
mendengar (listening test) atau
tes lisan (verbal test).
· penggunaan bahasa isyarat
dalam tes.
· Penggunaan porsi yang lebih
banyak dalam tes tulis dan tes tindakan (performance test).
Tunagrahita
· Waktu dan tempat ujian mungkin
sama dengan siswa lainnya, tetapi soal ujian yang diberikan berbeda
(dimodifikasi) dari anak-anak lainnya.
· Jika anak belum bisa membaca
maka soal dibacakan oleh guru. Jawaban bisa dituliskan oleh siswa sendiri atau
mungkin juga dituliskan oleh guru setelah siswa memberi jawaban secara lisan.
Tunadaksa
Soal ujian tidak berbeda dengan
siswa lainnya. Demikian juga dengan caranya (khususnya untuk tes tulis).
Yang perlu diperhatikan adalah
tes tindakan yang membutuhkan gerakan atau mobilitas (misalnya tes, senam,
renang, menari dan jenis olah raga lainnya yang membutuhkan gerak). Untuk tes
seperti itu mungkin tidak diberlakukan atau tuntutannya tidak sama persis
dengan siswa lainnya.
c. Penentuan Keberhasilan
Penentuan keberhasilan berkaitan
dengan cara atau pendekatan yang digunakan dalam menentukan criteria
keberhasilan belajar. Misalnya apa criteria untuk megatakan bahwa seorang siswa
dikatakan telah berhasil atau dinyatakan telah lulus, sehingga berhak untuk
naik kelas atau lulus dari satuan pendidikan tertentu. Salah satu isu penting
terkait dengan komponen ini adalah “apakah siswa berkebutuhan khusus harus
tidak naik kelas, karena prestasi belajarnya yang rendah jika dibandingkan
dengan siswa lainnya”?
d. Pelaporan Hasil Evaluasi
Pelaporan hasil evaluasi
berkaitan dengan cara dan atau media yang digunakan untuk mendokumentasikan dan
melaporkan hasi-hasil belajar yang dicapai oleh siswa. Termasuk di dalamnya isu
tentang raport, ijazah dan atau surat tanda tamat belajar (STTB)
Hambatan yang dialami siswa
berkebutuhan khusus menyebabkan pelaksanaan evaluasi pembelajaran harus
dimodifikasi (dirubah) untuk disesuaikan dengan kemampuannya. Perubahan
pelaksanaan evaluasi bagi siswa berkebutuhan khusus, mencakup empat komponen
evaluasi yang telah dipaparkan sebelumnya dengan sifat dan kadar perubahan yang
berbeda pada masing-masing komponen. Beberapa prinsip sekaligus cara yang penting
dipertimbangkan oleh guru dalam melakukan modifikasi evaluasi, meliputi (1)
siswa berkebutuhan khusus harus menjalani system evaluasi yang sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuannya, (2) perubahan (modifikasi) sistem evaluasi
dilakukan terhadap empat komponen evaluasi, yaitu (a) isi/materi evaluasi, (b)
cara pelaksanaan evaluasi, (c) kriteria keberhasilan, dan (d) model
pelaporannya, (3) siswa ABK yang mengalami hambatan kecerdasan membutuhkan
modifikasi evaluasi yang lebih signifikan dan pada banyak aspek evaluasi, (4)
semakin berat hambatan kecerdasan, semakin signifikan perubahan (modifikasi)
sistem evaluasi yang dilakukan.
6. Rencana Pembelajaran
a. Umum
Rencana pembelajaran adalah
persiapan mengajar yang dibuat secara tertulis oleh guru sebelum pelaksanaan
pembelajaran. Sebuah rencana pembelajaran minimal memuat uraian tentang lima
komponen utama yaitu (1) rumusan tujuan pembelajaran yang akan dicapai, (2)
rumusuan materi yang akan disampaikan, (3) kegiatan pembelajaran yang akan
dilaksanakan, (4) informasi tentang sumber dan media yang akan digunakan dan
(5) penjelasan tentang kegiatan evaluasi yang akan dilaksanakan untuk
mengetahui tingkat keberhasilan pembelajaran.
Ada dua jenis rencana
pembelajaran utama yang harus dibuat oleh guru yaitu (1) silabus, dan (2)
rencana pelaksanaan pembelajaran/RPP. Silabus adalah rencana pembelajaran yang
dibuat untuk kurun waktu satu semester. Rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) adalah
rencana pembelajaran yang dibuat untuk satu atau dua kali pertemuan.
b. Silabus
Silabus umumnya dibuat dalam
bentuk matrik (table) yang di dalamnya memuat 5 komponen yaitu (1) kompetensi
dasar, (2) indikator keberhasilan, (3) kegiatan pembelajaran dan evaluasi, (4)
alokasi waktu, (5) sumber dan media pembelajaran. Silabus biasanya dibuat untuk
setiap mata pelajaran, dalam satu semester di suatu kelas. Oleh karena itu,
silabus biasanya didahului oleh identitas mata pelajaran.
c. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
(RPP)
Rencana pelaksanaan pembelajaran
(RPP) adalah rencana pembelajaran atau persiapan mengajar yang dibuat untuk
satu atau dua kali pertemuan. Komponen-komponen yang dituliskan dalam RPP
kurang lebih sama dengan silabus. Bedanya dengan silabus adalah bahwa RPP
dibuat tidak dalam bentuk table tetapi uraian yang memanjang ke bawah.
Perbedaan lainnya adalah jika silabus dibuat untuk satu semester, maka RPP
dirancang hanya untuk satu atau dua kali pertemuan. Oleh karenanya, uraian
rencana kegiatan dalam RPP biasanya lebih rinci/detail daripada silabus.
b. Perencanaan Pembelajaran
Dalam Pembelajaran Inklusif
Merujuk pada uraian tersebut,
terdapat dua jenis rencana pembelajaran yang seyogyanya dibuat oleh guru dalam
konteks pembelajaran inklusif, yaitu (1) silabus dan (2) rencana pelaksanaan
pembelajaran/RPP.
1) Silabus dalam Pembelajaran
Inklusif
Sesuai paparan sebelumnya, ada 5
komponen pembelajaran yang harus dirumuskan dalam silabus, yakni (1) kompetensi
dasar, (2) indikator, (3) kegiatan pembelajaran dan penilaian, (4) alokasi
waktu, (5) sumber belajar. Pada dasarnya semua komponen tersebut boleh atau
seharusnya dirubah (dimodifikasi) oleh guru supaya sesuai dengan kondisi siswa
berkebutuhan khusus. Hal ini selaras dengan penjelasan sebelumnya bahwa siswa
berkebutuhan khusus yang mengalami hambatan kecerdasan akan membutuhkan
modifikasi pada hampir semua komponen dari kurikulum. Dengan kata lain
mengalami modifikasi hampir pada semua komponen silabus. Sedangkan siswa ABK
yang tidak mengalami hambatan kecerdasan hanya akan mengalami modifikasi pada
beberapa komponen dari silabus. Oleh karena itu, contoh pengembangan silabus
yang disajikan di bawah ini lebih mengarah kepada silabus bagi siswa ABK yang
mengalami hambatan kecerdasan.
Untuk sementara disarankan bahwa
ada tiga komponen dari silabus umum yang tidak perlu dirubah (dimodifikasi)
yaitu (1) kompetensi inti (2) kompetensi dasar, dan (3) alokasi waktu. Namun
perlu dicatat bahwa ini bukan rumus mati, artinya dalam kondisi tertentu
komponen-komponen tersebut sangat dimungkinkan atau bahkan harus dimodifikasi,
termasuk juga standar kompetensi lulusan (SKL). Akan tetapi karena pertimbangan
kemudahan bagi guru maka untuk saat ini, dimodifikasi hanya pada 5 komponen
yaitu (1) materi (2) indikator (3) kegiatan pembelajaran (4) media dan sumber
(5) evaluasi. Berikut ini adalah contoh format silabus pembelajaran in klusif.
Format silabus pembelajaran
inklusif
Mata pelajaran :
………………………………………………
Kelas/semester :
………………………………………………
Pertemuan : ………………………………………………
Waktu : ………………………………………………
Kompetensi Inti :
……………………………………………… (tidak dimodifikasi)
KOMPETENSI
DASAR
INDIKATOR
KEGIATAN
PEMBELAJARAN DAN PENILAIAN
ALOKASI
WAKTU
SUMBER
BELAJAR
Kompetensi dasar (KD)
· Dikutip dari kurikulum karena
sudah tersedia dalam naskah kurikulum.
· KD secara umum (sementara)
tidak perlu dimodifikasi, artinya sama dengan siswa lainnya.
· Kalau rumusan KD kondisinya
agak spesifik dan operasional maka silahkan untuk dimodifikasi disesuaikan
dengan kemampuan siswa berkebutuhan khusus.
Materi
· Dirubah (dimodifikasi)
disesuaikan dengan kemampuan siswa berkebutuhan khusus.
· Dibuat oleh guru.
Indikator
· Dirubah (dimodifikasi)
disesuaikan dengan kemampuan siswa berkebutuhan khusus.
· Dibuat oleh guru.
Kegiatan Pembelajaran
· Dirumuskan oleh guru.
· Dimodifikasi disesuaikan
dengan kemampuan siswa.
· Contoh perumusan kegiatan
dapat dilihat di penjelasan tentang kurikulum pada bagian tentang proses.
Alokasi Waktu
· Dirumuskan oleh guru.
· Pada umumnya disamakan dengan
siswa lainnya. Artinya siswa ABK belajar dengan alokasi waktu yang sama dengan
siswa regular.
· Dalam kondisi tertentu
dimungkinkan waktu belajarnya berbeda (dimodifikasi).
Sumber dan Media
· Dirumuskan oleh guru.
· Dimodifikasi disesuaikan
dengan kemampuan siswa berkebutuhan khusus.
· Cara pengadaan dan penggunaan
media dapat dilihat di penjelasan khusus tentang media.
Evaluasi
· Dirumuskan oleh guru.
· Dimodifikasi disesuaikan
dengan kemampuan siswa berkebutuhan khusus.
· Cara modifikasi dapat dilihat
di pembahasan tentang evaluasi.
2) Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP) Dalam Pembelajaran Inklusif
Rencana pelaksanan pembelajaran
(RPP) pada dasarnya sama dengan silabus. Di dalamnya tercakup 5 komponen
sebagaimana disebutkan terdahulu. Sebagaimana dijelaskan di muka, bedanya
dengan silabus adalah bahwa RPP disusun tidak dalam bentuk matrik (table)
tetapi tersusun ke bawah. Prinsip dan cara modifikasi RPP juga sama dengan
silabus. Standar Kompetensi Inti (KI), kompetensi dasar (KD) dan alokasi waktu
tidak dirubah (tidak dimodifikasi), sedangkan komponen lainnya diupayakan untuk
dimodifikasi. Dengan demikian, format umum RPP adalah sbb.:
Format Umum RPP Pembelajaran
Inklusif
Mata pelajaran :
………………………………………………..
Kelas/semester :
………………………………………………..
Pertemuan : ………………………………………………..
Waktu : …………………………………….………….
· Standar Kompetensi (tidak
dimodifikasi)
· Kompetensi Dasar (tidak
dimodifikasi)
· Materi Pokok (dimodifikasi)
· Indikator Keberhasilan
(dimodifikasi)
· Alokasi waktu (tidak
dimodifikasi)
· Kegiatan Pembelajaran
(dimodifikasi)
· Media dan Sumber Pembelajaran
(dimodifikasi)
· Evaluasi (dimodifikasi)
3) Model RPP dalam pembelajaran
inklusif
Ada dua model format RPP untuk
pembelajaran inklusif bagi siswa berkebutuhan khusus, yang bisa dipertimbangkan
oleh guru, yaitu (1) model RPP yang terintegrasi,
(2) model RPP yang individual.
a) RPP Terintegrasi
Model integrasi adalah model
pengembangan RPP bagi siswa berkebutuhan khusus yang diintegrasikan (disatukan)
dengan RPP untuk siswa lainnya. Jadi, dalam model ini guru hanya memiliki satu
RPP, tetapi di dalamnya memuat dua rumusan perencanaan yaitu perencanaan untuk
siswa regular dan rumusan (catatan khusus) untuk siswa berkebutuhan khusus.
Untuk komponen-komponen yang tidak mengalami modifikasi, maka hanya ada satu
rumusan (KI, KD dan alokasi waktu), sedangkan untuk komponen yang mengalami
perubahan (modifikasi) maka akan ada dua rumusan.
b) RPP Individual
RPP Individual adalah model
rencana pembelajaran yang dibuat khusus untuk siswa berkebutuhan khusus,
artinya terpisah dari RPP untuk siswa lainnya (regular). RPP model ini
sepenuhnya berisi perencanaan pengajaran untuk siswa berkebutuhan khusus dan
bersifat individual. Selain berisi komponen sebagaimana RPP pada umumnya, RPP
individual memiliki 2 komponen tambahan yaitu (1) identitas siswa dan (2)
kemampuan siswa saat ini. Format RPP individual adalah sebagai berikut.
Format RPP Individual
Mata pelajaran :
…...........………………………….……………………………………………..
Kelas/semester :
……………………………………………………………………….…………..
Pertemuan :
………………………………………………………………….………………..
Waktu :
………………………………………………………………………..………….
Identitas Siswa
Nama : ……………… Jenis kelamin :
…………..…….. umur: ……………….…
Jenis hambatan: ………………… tingkat
hambatan: ………………………….……
Alamat :
…………………………………………………………………………………
Kemampuan saat ini :
…………………………………….……………………………
· Kompetensi Inti
· Kompetensi Dasar
· Materi Pokok
· Indikator Keberhasilan
· Alokasi waktu
· Kegiatan Pembelajaran
· Media dan Sumber Pembelajaran
· Evaluasi
Pembelajaran untuk anak
berkebutuhan khusus dalam seting inklusif pada dasarnya adalah sistem
pembelajaran umum yang disesuaikan dengan kebutuhan anak berkebutuhan khusus.
Oleh karena itu, rancangan pembelajaran inklusif harus berdasarkan pada
analisis dan pemahaman terhadap kurikulum umum. Setelah itu dilakukan asesmen
terhadap anak berkebutuhan khusus yang menjadi target pelayanan, sehingga dapat
diketahui jenis hambatan, tingkat hambatan, kekuatan, kelemahan dan kebutuhan
dari anak yang akan ditangani (ABK). Berdasarkan hasil asesmen, selanjutnya
guru mengembangkan rencana pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan dan
kebutuhan ABK. Langkah selanjutnya adalah melaksanakan proses belajar mengajar.
Kemudian diakhiri dengan pelaksanaan evaluasi. Rangkaian kegiatan tersebut
dapat digambarkan dalam bentuk skema sebagai berikut:
REFERENSI
Friend, Marilyn (2005). Special Education: Contemporary Perspectives for
School Professionals. New York: Pearson Education Inc.
J. David Sminth (2006). Inklusi, Sekolah Ramah untuk Semua (editor
ahli M.Sugiarmin dan MIF Baihaqi). Bandung: Penerbit Nuansa.
Moh. Amin (1995). Ortopedagogik Anak Tunagrahita. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Proyek Pendidikan Tenaga Guru.
Mulyono Abdurahman dan Sudjadi
(1994). Pendidikan Luar Biasa Umum. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Proyek Pendidikan Tenaga Akademik.
Samuel A. Kirk, J.J. Gallagher
(1986), Education Exceptional Children, New
Jersey : Houghton Mifflin Company.
Turnbull, R., Turnbull, A.,
Shank, M., Smith, S.J. (2004). Exceptional
Lives: Special Education in Today’s School. New Jersey: Pearson Prentice
Hall.
Diantara isi Buku saya yang ke 3
dengan judul "Panduan Cerdas menangani ABK pada Program Pendidikan
Inklusif"
Excited pak. Semoga bisa dipertahankan
BalasHapusgambar nya tidak muncul pak
BalasHapus