google-site-verification=W5vHGRPWynO0DT8bQJPHWYziauQJyFzHXnFrPqajzmI Sultan Hamid: Asesmen dan Rancangan Perangakat Pendidikan Inklusif

Rabu, 10 Juni 2020

Asesmen dan Rancangan Perangakat Pendidikan Inklusif


Perangkat pembelajaran merupakan salah satu wujud persiapan guru sebelum melaksanakan proses pembelajaran. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 20, “perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar.
Adapun pijakan utama bagi guru dalam pengembangan perangkat pembelajaran adalah kurikulum yang digunakan pada satuan pendidikan tersebut, demikian juga di sekolah inklusi.
1. Pengertian Kurikulum
Kurikulum dalam modul ini diartikan sebagai seperangkat rencana atau pengaturan pelaksanaan pembelajaran dan atau pendidikan yang di dalamnya mencakup pengaturan tentang tujuan, isi (materi), proses dan evaluasi. Tujuan berarti apa yang akan dicapai , materi berarti apa yang akan dipelajari, proses berarti apa yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan dan evaluasi berarti apa yang harus dilakukan untuk mengetahui keberhasilan pencapaian tujuan. Kurikulum bisa bersifat makro, artinya pengaturan tentang empat hal tersebut dalam skala nasional, tetapi juga bisa bersifat mikro yaitu pengaturan tentang empat hal tersebut dalam konteks pembelajaran di kelas.
2. Komponen Kurikulum
Berdasarkan pengertian kurikulum tersebut, secara umum terdapat empat komponen utama yang harus ada di dalam kurikulum yaitu (1) tujuan (2) isi/ materi (3) proses dan (4) evaluasi.
a. Tujuan
Tujuan adalah seperangkat kemampuan atau kompetensi yang akan dicapai setelah
para siswa menyelesaikan program pendidikan dalam kurun waktu tertentu.
Tujuan pendidikan atau pembelajaran secara umum terbagi ke dalam tiga jenis kemampuan, yaitu kemampuan
(1) kognitif,
(2) afektif, dan
(3) psikomotor. Kalau dilihat dari tingkatan atau ruang lingkupnya, maka tujuan pendidikan dapat dibedakan ke dalam 4 tingkatan, yaitu
(1) tujuan pendidikan nasional,
(2) tujuan pendidikan lembaga/institusi,
(3) tujuan kurikuler, dan
(4) tujuan instruksional.
Tujuan pendidikan yang paling penting untuk dicermati dan dipahami oleh para guru adalah tujuan pendidikan pada level institusi (tujuan lembaga) dan tujuan pembelajaran pada level pengajaran (tujuan instruksional). Jika dikaitkan dengan kurikulum terkini yang berlaku di Indonesia saat ini, maka yang dimaksud dengan tujuan pendidikan atau pembelajaran kurang lebih sama dengan standar kompetensi lulusan dan indicator keberhasilan.
Jadi ada empat jenis kompetensi (dalam kurikulum) yang harus dicermati oleh guru kaitannya dengan tujuan pembelajaran dalam setting inklusif yaitu:
1) Standar kompetensi lulusan (SKL)
2) Kompetensi Inti (KI)
3) Kompetensi dasar (KD)
4) Indikator keberhasilan (indikator)
b. Isi (Materi)
Materi adalah isi atau konten yang harus dipelajari oleh siswa supaya bisa mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Materi pembelajaran bisa berupa informasi, konsep, teori, dan lain-lain. Materi pembelajaran harus relevan atau mendukung terhadap pencapaian kompetensi dasar dan standar kompetensi. Jika menggunakan kurikulum 2006 (KTSP), rumusan materi tidak lagi tersedia dalam kurikulum, tetapi harus dibuat atau dikembangkan sendiri oleh sekolah/guru. Materi biasanya dikembangkan oleh guru dengan mengacu kepada buku sumber yang relevan.
c. Proses
Proses adalah kegiatan atau aktivitas yang akan dijalani oleh siswa supaya bisa menguasai materi yang diajarkan dan bisa mencapai tujuan-tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Proses kurang lebih sama pengertiannya dengan kegiatan belajar mengajar (KBM) atau pengalaman belajar, yakni serangkaian kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan oleh siswa bersama guru, baik di dalam maupun di luar kelas. Proses pembelajaran biasanya terkait dengan penggunaan metode mengajar, pemakaian media pembelajaran, pengalokasian waktu, penggunaan sumber belajar, pengelolaan kelas dan lain-lain.
d. Evaluasi
Evaluasi adalah proses kegiatan yang dilakukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan/ pencapaian tujuan-tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Kegiatan evaluasi bertujuan untuk mengetahui keberhasilan/ketuntasan belajar siswa dalam mencapai atau menguasai kompetensi-kompetensi yang menjadi tujuan pembelajaran. Evaluasi juga ingin mengetahui apakah proses pembelajaran telah berjalan secara efektif atau optimal. Isu yang paling penting terkait dengan evaluasi adalah teknis atau cara yang akan digunakan dalam evaluasi untuk mengetahui keberhasilan pembelajaran.
3. Model Pengembangan Kurikulum Inklusif
Setelah mempelajari empat komponen kurikulum yang telah dipaparkan tersebut, maka pertanyaan berikutnya adalah “Bagaimana model kurikulum untuk siswa berkebutuhan khusus yang mengikuti pendidikan inklusif di sekolah reguler?” . Ada empat kemungkinan model pengembangan kurikulum untuk siswa berkebutuhan khusus yang mengikuti pendidikan di sekolah inklusif, yaitu (1) model duplikasi, (2) model modifikasi, (3) model substitusi, (4) model omisi.
a. Model Duplikasi
Duplikasi artinya meniru atau menggandakan. Meniru berarti membuat sesuatu menjadi sama atau serupa. Model kurikulum, duplikasi berarti mengembangkan dan atau memberlakukan kurikulum untuk siswa berkebutuhan khusus secara sama atau serupa dengan kurikulum yang digunakan untuk siswa pada umumnya (regular). Jadi, model duplikasi adalah cara dalam pengembangan kurikulum, bagi siswa-siswa berkebutuhan khusus dengan menggunakan kurikulum yang sama seperti yang dipakai oleh anak-anak pada umumnya. Model duplikasi dapat diterapkan pada empat komponen utama kurikulum, yaitu tujuan, isi, proses dan evaluasi.
Duplikasi tujuan berarti tujuan-tujuan pembelajaran yang diberlakukan kepada anak-anak regular juga diberlakukan kepada siswa berkebutuhan khusus. Dengan demikian, maka standar kompetensi lulusan (SKL) yang diberlakukan untuk siswa regular juga diberlakukan untuk siswa berkebutuhan khusus. Demikian juga dengan kompetensi inti (KI), kompetensi dasar (KD) dan juga indikator keberhasilan.
Duplikasi isi/materi berarti materi-materi pembelajaran yang diberlakukan kepada siswa regular (umum) juga diberlakukan sama kepada siswa-siswa berkebutuhan khusus. Siswa berkebutuhan khusus memperoleh informasi, materi, pokok bahasan atau sub-pokok bahasan yang sama seperti yang disajikan kepada siswa-siswa regular.
Duplikasi proses berarti siswa berkebutuhan khusus menjalani kegiatan atau pengalaman belajar mengajar yang sama seperti yang diberlakukan kepada siswa-siswa regular. Duplikasi proses bisa berarti kesamaan dalam metode mengajar, lingkungan/setting belajar, waktu belajar, media belajar, atau sumber belajar.
Duplikasi evaluasi, berarti siswa berkebutuhan khusus menjalani proses evaluasi atau penilaian yang sama sebagaimana yang diberlakukan kepada siswa-siswa regular. Duplikasi evaluasi bisa berarti kesamaan dalam soal-soal ujian, kesamaan dalam waktu evaluasi, teknik/cara evaluasi, atau kesamaan dalam tempat atau lingkungan ketika evaluasi dilaksanakan.
b. Model Modifikasi
Modifikasi berarti merubah untuk disesuaikan. Dalam kaitan dengan model kurikulum untuk siswa berkebutuhan khusus, maka model modifikasi berarti cara pengembangan kurikulum, dengan memodifikasi kurikulum umum yang diberlakukan untuk siswa-siswa regular dirubah untuk disesuaikan dengan kemampuan siswa berkebutuhan khusus. Dengan demikian, siswa berkebutuhan khusus menjalani kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. Modifikasi dapat diberlakukan (terjadi) pada empat komponen utama pembelajaran yaitu tujuan, materi, proses dan evaluasi.
Modifikasi tujuan, berarti tujuan-tujuan pembelajaran yang ada dalam kurikulum umum dirubah untuk disesuaikan dengan kondisi siswa berkebutuhan khusus. Sebagai konsekuensi dari modifikasi tujuan, maka siswa berkebutuhan khusus akan memiliki rumusan kompetensi sendiri yang berbeda dengan siswa-siswa regular, baik berkaitan dengan standar kompetensi lulusan (SKL), kompetensi inti (KI), kompetensi dasar (KD) maupun indikator.
Modifikasi isi, berarti materi-materi pelajaran yang diberlakukan untuk siswa regular dirubah untuk disesuaikan dengan kondisi siswa berkebutuhan khusus. Dengan demikian, siswa berkebutuhan khusus mendapatkan sajian materi yang sesuai dengan kemampuannya. Modifikasi materi bisa berkaitan dengan keluasan, kedalaman dan atau tingkat kesulitan. Artinya, siswa berkebutuhan khusus mendapatkan materi pelajaran yang tingkat kedalaman, keluasan dan kesulitannya berbeda (lebih rendah) daripada materi yang diberikan kepada siswa regular.
Modifikasi proses, berarti ada perbedaan dalam kegiatan pembelajaran yang dijalani oleh siswa berkebutuhan khusus dengan yang dialami oleh siswa pada umumnya. Metode atau strategi pembelajaran umum yang diberlakukan untuk siswa-siswa regular tidak diterapkan untuk siswa berkebutuhan khusus. Jadi, mereka memperoleh strategi pembelajaran khusus yang sesuai dengan kemampuannya. Modifikasi proses atau kegiatan pembelajaran bisa berkaitan dengan penggunaan metode mengajar, lingkungan/seting belajar, waktu belajar, media belajar, sumber belajar dan lain-lain.
Modifikasi evaluasi, berarti ada perubahan dalam sistem penilaian untuk disesuaikan dengan kondisi siswa berkebutuhan khusus. Dengan kata lain, siswa berkebutuhan khusus menjalani system evaluasi yang berbeda dengan siswa-siswa lainnya. Perubahan tersebut bisa berkaitan dengan perubahan dalam soal-soal ujian, perubahan dalam waktu evaluasi, teknik/cara evaluasi, atau tempat evaluasi dan lain-lain. Termasuk juga bagian dari modifikasi evaluasi adalah perubahan dalam kriteria kelulusan, sistem kenaikan kelas, bentuk raport, ijazah dan lain-lain.
c. Model Substitusi
Substitusi berarti mengganti. Dalam kaitan dengan model kurikulum, maka substitusi berarti mengganti sesuatu yang ada dalam kurikulum umum dengan sesuatu yang lain. Penggantian dilakukan karena hal tersebut tidak mungkin diberlakukan kepada siswa berkebutuhan khusus, tetapi masih bisa diganti dengan hal lain yang kurang lebih sepadan (memiliki nilai yang kurang lebih sama). Model penggantian (substitusi) bisa terjadi dalam hal tujuan pembelajaran, materi, proses atau evaluasi.
d. Model Omisi
Omisi berarti menghilangkan. Dalam kaitan dengan model kurikulum, omisi berarti upaya untuk menghilangkan sesuatu (bagian atau keseluruhan) dari kurikulum umum, karena hal tersebut tidak mungkin diberikan kepada siswa berkebutuhan khusus. Dengan kata lain, omisi berarti sesuatu yang ada dalam kurikulum umum tidak disampaikan atau tidak diberikan kepada siswa berkebutuhan khusus karena sifatnya terlalu sulit atau tidak sesuai dengan kondisi anak berkebutuhan khusus. Bedanya dengan substitusi adalah jika dalam substitusi ada materi pengganti yang sepadan, sedangkan dalam model omisi tidak ada materi pengganti.
4. Prinsip Pengembangan Kurikulum Inklusif
Ada beberapa prinsip penting yang harus dijadikan acuan oleh para guru dalam mengembangkan kurikulum untuk siswa berkebutuhan khusus dalam seting inklusif:
a. Kurikulum umum yang diberlakukan untuk siswa regular perlu dirubah (dimodifikasi) untuk disesuaikan dengan kondisi siswa berkebutuhan khusus.
b. Penyesuaian kurikulum dengan kemampuan siswa berkebutuhan khusus bisa terjadi pada komponen tujuan, materi, proses dan atau evaluasi.
c. Penyesuaian kurikulum tidak harus sama pada masing-masing komponen. Artinya jika komponen tujuan dan materi harus dimodifikasi, mungkin tidak demikian halnya dengan proses. Dst.
d. Proses penyesuaian juga tidak harus sama untuk semua materi. Untuk materi tertentu perlu dimodifikasi, tetapi mungkin tidak perlu untuk materi yang lain.
e. Proses modifikasi juga tidak sama untuk semua mata pelajaran. Untuk mata pelajaran tertentu mungkin perlu banyak modifikasi, tetapi mata pelajaran yang lain mungkin tidak perlu dimodifikasi.
f. Proses modifikasi juga tidak sama pada masing-masing jenis kelainan. Siswa berkebutuhan khusus yang tidak mengalami hambatan kecerdasan (tunanetra, tunarungu, tunadaksa) mungkin akan sedikit membutuhkan modifikasi kurikulum. Sedangkan siswa yang mengalami hambatan kecerdasan (tunagrahita) membutuhkan modifikasi hampir pada semua komponen pembelajaran (tujuan, isi, proses dan evaluas).
5. Penerapan Model Kurikulum
Ada empat kemungkinan model kurikulum yaitu duplikasi, modifikasi, substitusi dan omisi, dan ada empat komponen utama kurikulum yaitu tujuan, materi, proses dan evaluasi. Mengembangkan kurikulum untuk siswa berkebutuhan khusus pada dasarnya adalah memadukan antara model kurikulum dengan komponen kurikulum. Setiap satu komponen dari model kurikulum dipadukan dengan setiap komponen dari komponen kurikulum, sehingga akan terjadi 16 kemungkinan perpaduan (4 x 4). Lihat gambar skematik berikut.
Gambar 1. Enam Belas Kemungkinan Bentuk Penyesuaian Kurikulum dan Pembelajaran bagi Siswa Berkebutuhan Khusus di Sekolah Inklusif
Gambar tersebut, menunjukkan bahwa pada dasarnya ada 16 kemungkinan bentuk penyesuaian (model) kurikulum untuk siswa berkebutuhan khusus, yaitu 4 kemungkinan model untuk tujuan (1,2,3,4); empat kemungkinan model untuk materi (5,6,7,8); 4 kemungkinan model untuk proses (9,10,11,12) dan 4 kemungkinan model untuk evaluasi (13,14,15,16).
Ketika seorang guru akan merancang kurikulum untuk siswa berkebutuhan khusus, maka akan muncul 16 pertanyaan. Pertanyaan pertama adalah apakah tujuan pembelajaran yang akan diberlakukan kepada siswa berkebutuhan khusus harus sama dengan siswa lainnya? Ataukah dimodifikasi? Atau diganti (substitusi)? Atau dihilangkan sama sekali (omisi)? Pertanyaan serupa diajukan berkenaan dengan materi pelajaran, proses, dan terakhir terkait dengan cara evaluasi.
Ada kemungkinan bahwa tujuan pembelajarannya disamakan (duplikasi), tetapi materinya harus dimodifikasi. Kemungkinan lain adalah tujuan pembelajarannya dimodifikasi, materinya juga dimodifikasi, tetapi prosesnya disamakan. Kemungkinan lain adalah bahwa tujuan pembelajaran, materi, proses dan juga evaluasi semuanya harus dimodifikasi. Modifikasi atau tidaknya suatu komponen sangat bergantung kepada kondisi, sifat atau kadar dari komponen tersebut serta tingkat hambatan yang dialami oleh siswa berkebutuhan khususnya. Semakin berat tujuan atau materi pembelajaran yang ada, maka semakin perlu untuk dimodifikasi. Dan semakin berat hambatan intelektual siswa, juga semakin perlu modifikasi dilakukan.
a. Kategori Kurikulum ABK Dalam Setting Inklusif
Pada dasarnya, kurikulum untuk siswa berkebutuhan khusus harus bervariasi sesuai dengan jenis hambatan yang dialami oleh siswa. Artinya, setiap jenis hambatan (kelainan) membutuhkan bentuk kurikulum yang berbeda. Namun demikian, katagorisasi kurikulum ABK dalam seting inklusif secara umum dapat dibedakan dalam dua kelompok, yaitu (1) kurikulum untuk ABK yang tidak mengalami hambatan kecerdasan, dan (2) kurikulum untuk ABK yang mengalami hambatan kecerdasan, yaitu tunagrahita dan gangguan lain yang disertai hambatan kecerdasan. Pembagian tersebut dilakukan karena kedua kelompok ABK tersebut memiliki karakteristik yang sangat berbeda yang berimplikasi terhadap pelaksanaan pembelajaran.
1) Kurikulum ABK yang tidak Mengalami Hambatan Kecerdasan
Siswa berkebutuhan khusus yang tidak mengalami hambatan kecerdasan seperti tunanetra, tunarungu, tunadaksa, dan lain-lain hanya membutuhkan sedikit modifikasi dalam pembelajaran. Tujuan dan materi pembelajaran umumnya tidak mengalami perubahan, demikian juga dengan konten evaluasi. Mereka biasanya lebih banyak membutuhkan modifikasi dalam proses pembelajaran yakni berkaitan dengan cara dan media dalam penyajian pembelajaran
2) Kurikulum ABK yang Mengalami Hambatan Kecerdasan
Siswa berkebutuhan khusus yang mengalami hambatan kecerdasan (tunagrahita dan gangguan lain yang disertai hambatan kecerdasan), umumnya membutuhkan modifikasi hampir pada semua komponen pembelajaran. Tujuan pembelajaran harus dimodifikasi, demikian juga dengan materi, proses dan pelaksanaan evaluasi. Kecenderungan model kurikulum untuk ABK yang mengalami hambatan kecerdasan nampak pada Tabel 2.
b. Modifikasi
Terlepas dari adanya sejumlah kemungkinan model kurikulum yang bisa dipilih, Model Modifikasi tampaknya merupakan model yang paling tinggi peluangnya untuk diberlakukan) pada kurikulum siswa berkebutuhan khusus di sekolah inklusif. Terbatasnya kemampuan intelektual pada siswa berkebutuhan khusus, menyebabkan perlunya modifikasi hampir pada semua komponen dari kurikulum. Oleh karena itu, setiap guru harus memiliki pemahaman dan kemampuan yang cukup tentang apa dan bagaimana memodifikasi kurikulum. Sesuai dengan jumlah komponen dalam kurikulum, maka ada empat target modifikasi kurikulum yaitu (1) modifikasi tujuan, (2) modifikasi isi/materi, (3) modifikasi proses, dan (4) modifikasi evaluasi. Berikut akan dijelaskan bagaimana cara modifikasi untuk masing-masing komponenen tersebut:
1. Modifikasi tujuan
Ada empat tujuan pembelajaran yang berada pada level satuan pendidikan (sekolah) yaitu standar kompetensi lulusan (SKL), kompetensi inti (KI), kompetensi dasar (KD), dan indikator. Pertanyaannya adalah apakah semua kompetensi tersebut harus dimodifikasi? Jika ya, bagaimana cara melakukannya?
Ada beberapa prinsip sekaligus cara yang harus diperhatikan oleh guru dalam melakukan modifikasi tujuan, sebagai berikut.
a. Modifikasi tujuan pembelajaran terutama bagi ABK yang mengalami hambatan kecerdasan.
b. Semakin umum atau luas suatu tujuan (kompetensi), maka semakin kecil tuntutan untuk dilakukan modifikasi. Semakin spesifik dan operasional suatu rumusan tujuan maka semakin perlu untuk dilakukan modifikasi.
c. Berdasarkan prinsip pertama, maka rumusan tujuan pendidikan nasional SKL dan KI) mungkin dibiarkan saja, tidak perlu dimodifikasi karena tujuan-tujuan tersebut bersifat umum (global), sehingga dapat mewadahi kompetensi-kompetensi yang ada pada siswa berkebutuhan khusus.
d. Para guru sebaiknya berkonsentrasi untuk mencermati dan melakukan upaya modifikasi pada level kompetensi yang lebih spesifik, yakni KD dan indikator.
e. Semakin tinggi tingkatan kelas siswa tunagrahita, maka semakin tinggi keperluan untuk dilakukan modifikasi dan semakin ekstrim kadar modifikasi yang dilakukan. Dan sebaliknya semakin rendah tingkatan kelas, semakin kecil tuntutan untuk modifikasi. Hal ini karena semakin tinggi tingkatan kelas maka semakin tinggi kesenjangan antara kemampuan siswa tunagrahita dengan tuntutan kurikulum pada kelas tersebut. Demikian sebaliknya.
f. Semakin berat tingkat hambatan intelektual siswa berkebutuhan khusus, semakin ektrim sifat modifikasi yang dilakukan, dan semakin ringan tingkat hambatannya maka semakin ringan pula kadar modifikasinya.
g. Modifikasi tujuan pembelajaran harus didasarkan kemampuan siswa berkebutuhan khusus yang diperoleh dari hasil asesmen.
2. Modifikasi Isi/ Materi
Isi/materi adalah sesuatu yang akan dibahas atau dipelajari oleh siswa untuk dapat mencapai tujuan atau kompetensi yang telah ditetapkan. Isi atau materi pembelajaran bisa berupa informasi, konsep, teori, pokok bahasan, sub-pokok bahasan dan lan-lain. Beberapa contoh rumusan materi pembelajaran yang biasa ditemukan di sekolah dasar di antaranya adalah sebagai berikut.
Konsep bilangan proses fotosintetis peta wilayah Indonesia.
Bilangan ganjil konsep ekosistem kesenian daerah
Konsep penjumlahan toleransi beragama kebudayaan nasional
Konsep pengurangan hukum zakat dst.
Benda geometrik tata cara sholat
Siswa berkebutuhan khusus yang mengalami hambatan kecerdasan pada umumnya tidak bisa menyerap atau memahami materi-materi pembelajaran yang disajikan untuk anak-anak regular. Oleh karena itu, materi-materi pembelajaran yang ada (umum, reguler) harus dirubah (dimodifikasi) untuk disesuaikan dengan kemampuan siswa berkebutuhan khusus. Berikut ini beberapa prinsip sekaligus juga cara yang perlu dipertimbangkan oleh guru pada saat melakukan modifikasi materi pembelajaran.
a. Ketika guru telah memodifikasi tujuan (kompetensi dasar), maka otomatis materi pembelajaran juga harus dimodifikasi, karena materi pembelajaran dirumuskan atas dasar tujuan pembelajaran.
b. Tidak semua materi harus dimodifikasi. Hal ini bergantung kepada sifat materi yang dipelajari, yakni kesulitan, kerumitan, kedalaman atau keluasannya, juga bergantung kepada jenis hambatan yang dialami oleh siswa.
c. Siswa berkbutuhan khusus yang mengalami hambatan kecerdasan paling banyak membutuhkan modifikasi materi pembelajaran.
d. Semakin bersifat akademik dan abstrak suatu materi pelajaran, semakin perlu materi tersebut dimodifikasi. Sejumlah materi dalam mata pelajaran kesenian mungkin tidak harus dimodifikasi, tetapi materi-materi dalam mata pelajaran matematika dan IPA mungkin akan banyak dimodifikasi.
e. Semakin berat hambatan kecerdasan yang dialami siswa berkebutuhan khusus, semakin ekstrim proses modifikasi materi, dan sebaliknya.
f. Proses modifikasi materi harus didasarkan pada kondisi atau level kemampuan siswa berkebutuhan khusus yang didasarkan pada hasil asesmen.
3. Modifikasi proses
Proses berkaitan dengan kegiatan atau aktivitas yang akan dilaksanakan oleh siswa bersama guru, baik di kelas maupun di luar kelas, supaya tujuan-tujuan yang telah ditetapkan bisa dicapai. Proses pembelajaran juga diistilahkan “kegiatan pembelajaran” atau “pengalaman pembelajaran”. Proses pembelajaran berkaitan dengan beberapa hal pokok, di antaranya adalah hal-hal yang terkandung dalam pertanyaan-pertanyaan berikut.
a. Apa yang dilakukan oleh siswa?
b. Apa yang dilakukan oleh guru?
c. Metode apa yang digunakan?
d. Dimana dan dalam situasi apa pembelajaran akan dilaksanakan?.
e. Media dan sumber pembelajaran apa yang digunakan?
f. Bagaimana pengaturan waktu selama pembelajaran (seting waktu)?
g. Bagaimana pengaturan tempat duduk (seting kelas)? Dsb.
Hambatan yang ada dalam diri siswa berkebutuhan khusus, pada umumnya menyebabkan ABK tidak dapat mengikuti proses pembelajaran yang dirancang bagi siswa-siswa pada umumnya (regular). Waktu yang dibutuhkan untuk kegiatan pembelajaran mungkin berbeda, demikian juga dengan cara penyampaian serta media dan sumber belajar yang digunakan. Dalam kondisi tertentu, lingkungan belajar juga mungkin perlu dibedakan dengan siswa lainnya (dimodifikasi).
Beberapa prinsip sekaligus cara berikut, dapat dipertimbangkan oleh guru pada waktu akan memodifikasi proses atau kegiatan pembelajaran bagi siswa berkebutuhan khusus di sekolah inklusif.
a. Kegiatan pembelajaran harus dirancang dengan memperhatikan kelemahan yang dimiliki oleh siswa. Artinya cara yang dilakukan oleh guru harus mampu mengatasi kelemahan siswa dan memanfaatkan kelebihan yang ada padanya. Misalnya, untuk siswa tunanetra harus menekankan suara yang bisa didengar, sedangkan untuk tunarungu harus menekankan pada aktivitas visual yang dapat dilihat. Untuk siswa tunagrahita penekanan pada kesederhanaan cara penyampaian sehingga mudah dipahami.
b. Modifikasi proses pembelajaran berkaitan dengan beberapa aspek yaitu (1) pengaturan waktu, (2) pemilihan dan penggunaan metode/cara (3) pengaturan tempat duduk dan lingkungan belajar, (4) pengunaan media pembelajaran (5) penggunaan sumber/bahan pembelajaran.
c. Siswa berkebutuhan khusus yang mengalami hambatan kecerdasan dan prilaku membutuhkan modifikasi proses yang lebih spesifik dan signifikan.
d. Semakin berat hambatan intelektual dan atau prilaku siswa, semakin signifikan sifat dan kebutuhan akan modifikasi proses.
e. Modifikasi proses seyogyanya didasarkan pada karakteristik siswa berkebutuhan khusus, yang diperoleh melalui asesmen.
Berikut disajikan beberapa contoh modifikasi proses pembelajaran untuk beragam jenis hambatan yang ada pada anak berkebutuhan khusus.
Jenis Hambatan
Contoh kemungkinan Modifikasi Proses
Hambatan penglihatan
· Penyajian materi lebih menekankan verbal/auditif. Guru berusaha memverbalkan berbagai informasi atau objek yang ada di lingkungan.
· Penggunaan Braille sebagai sarana baca tulis.
· Penggunaan alat/media pembelajaran yang dapat diraba. Misalnya peta timbul, penggaris timbul dll.
· Penggunaan alat audio (tape, recorder dll.) dalam pembelajaran.
· Penggunaan buku bicara, computer bicara dan lain-lain media bicara.
Hambatan pendengaran
· Penyajian materi lebih menekankan pada visual. Guru berusaha selalu tatap muka dengan siswa ketika berbicara. Penggunaan tulisan, gambar atau media visual.
· Penggunaan bahasa isyarat dalam berkomunikasi.
· Penempatan siswa tunarungu pada tempat duduk di depan, supaya mudah bertatap muka dengan guru.
· Penggunaan alat bantu visual.
· Berbicara dengan gerakan bibir yang jelas.
Hambatan kecerdasan
· Penyajian materi dengan penjelasan yang sederhana. Bahasa yang mudah disertai dengan contoh –contoh.
· Penggunaan objek-objek konkrit dalam penjelasan konsep.
· Pemberian materi dan tugas-tugas yang kadarnya lebih mudah.
· Pemberian pembelajaran tambahan secara individual di luar jam belajar bersama.
· Penekanan pembelajar pada kompetensi-kompetensi fungsional (skill yang dibutuhkan untuk kemandirian dalam aktivitas kehidupan sehari-hari).
· Pemanfaatan teman sekelas (sebangku) sebagai tutor.
· Penglibatan dalam kerja kelompok.
· Waktu pembelajaran yang ditambah (diperpanjang).
Hambatan fisik dan motorik.
· Modifikasi berbagai alat, sarana dan lingkungan yang memungkinka/memudahkan mereka untuk terlibat dalam berbagai aktivitas. Misalnya penggunaan kursi roda, jalan yang landai untuk lintasan kursi roda, papan tulis yang pendek, tempat duduk/kursi yang disesuaikan dengan kondisi anak dll.
· Penurunan tuntutan atau standar pada kegiatan-kegiatan yang melibatkan gerakan (mobilitas).
Hambatan emosi dan prilaku
· Modifikasi prilaku dan emosi melalui kegiatan kelompok.
· Pemberian pembelajaran tambahan secara individual.
· Penempatan tempat duduk dekat dengan guru.
· Penyaluran bakat pada bidang keahlian tertentu.
4. Modifikasi Evaluasi
Evaluasi adalah proses yang dilakukan untuk mengetahui tingkat kemampuan atau prestasi yang dicapai oleh siswa berkebutuhan khusus setelah menjalani proses pembelajaran dalam kurun waktu tertentu di kelas inklusif. Evaluasi juga dimaksudkan untuk mengetahui apakah tujuan-tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan sebelumnya sudah tercapai atau belum. Pelaksanaan evaluasi mencakup empat komponen utama berikut.
a. pengembagan alat/instrumen evaluasi,
b. cara pelaksanaan evaluasi
c. penentuan keberhasilan dan
d. pelaporan hasil evaluasi.
a. Pengembangan Alat/ Instrumen Evaluasi
Instrumen evaluasi berupa perangkat soal-soal ujian yang digunakan untuk mengukur keberhasilan belajar. Komponen ini berkaitan dengan isi atau materi yang diujikan kepada siswa. Salah satu isu terkait dengan komponen ini adalah “Apakah siswa berkebutuhan khusus diuji dengan menggunakan soal-soal ujian yang sama seperti anak pada umumnya”? ABK yang tidak mengalami hambatan kecerdasan (misalnya tunanetra, tunarungu, tunadaksa dll.) umumnya menggunakan soal-soal ujian yang sama sebagaimana soal-soal yang diperuntukkan bagi anak-anak lainnya. Sedangkan ABK yang mengalami hambatan kecerdasan (tunagrahita) menjalani ujian dengan menggunakan soal-soal yang berbeda, yakni soal yang disesuaikan dengan kemampuan mereka. Penyusunan butir soal harus didasarkan pada tujuan dan materi pembelajaran yang disajikan. Ketika tujuan dan materi dimodifikasi, maka butir soalpun harus dimodifikasi. Berikut adalah contoh modifikasi soal ujian yang dikembangkan dari tujuan dan materi yang telah dimodifikasi sebelumnya.
b. Cara Pelaksanaan Evaluasi
Cara pelaksanaan evaluasi berkaitan dengan cara atau teknik yang digunakan dalam mengukur keberhasilan belajar siswa. Termasuk bagian dari komponen cara adalah pengaturan tentang waktu, alat dan juga lingkungan (seting) pelaksanaan evaluasi. Beberapa pertanyaan terkait dengan komponen ini adalah “apakah siswa berkebutuhan khusus harus dievaluasi dengan cara yang sama seperti anak “normal”? apakah anak berkebutuhan khusus harus dievaluas dengan cara tes tulis, lisan atau tindakan? Apakah anak berkebutuhan khusus harus dievaluasi dengan menggunakan peralatan khusus? Atau adakah cara lain yang dianggap lebih relevan? Tunagrahita, Tunanetra dan tunarungu umumnya membutuhkan modifikasi dalam hal cara evaluasi, sedangkan tunadaksa tidak terlalu banyak membutuhkan modifikasi. Berikut disajikan beberapa contoh modifikasi evaluasi berkaitan dengan cara/proses.
Contoh Modifikasi Evaluasi (Cara/Proses)
Jenis Hambatan
Contoh modifikasi cara evaluasi
Tunanetra
· Soal-soal ujian ditulis dalam bentuk braille.
· Soal-soal ujian dibacakan oleh orang awas. Siswa tunanetra menjawab dengan tulisan braille.
· Soal ujian dibacakan dan siswa tunanetra menjawab secara lisan, kemudian dituliskan oleh pembaca soal.
· Ujian dengan menggunakan komputer bicara.
· Waktu ujian agak diperpanjang, karena penggunaan braille lebih banyak membutuhkan waktu.
Tunarungu
· Menghilangkan bentuk tes mendengar (listening test) atau tes lisan (verbal test).
· penggunaan bahasa isyarat dalam tes.
· Penggunaan porsi yang lebih banyak dalam tes tulis dan tes tindakan (performance test).
Tunagrahita
· Waktu dan tempat ujian mungkin sama dengan siswa lainnya, tetapi soal ujian yang diberikan berbeda (dimodifikasi) dari anak-anak lainnya.
· Jika anak belum bisa membaca maka soal dibacakan oleh guru. Jawaban bisa dituliskan oleh siswa sendiri atau mungkin juga dituliskan oleh guru setelah siswa memberi jawaban secara lisan.
Tunadaksa
Soal ujian tidak berbeda dengan siswa lainnya. Demikian juga dengan caranya (khususnya untuk tes tulis).
Yang perlu diperhatikan adalah tes tindakan yang membutuhkan gerakan atau mobilitas (misalnya tes, senam, renang, menari dan jenis olah raga lainnya yang membutuhkan gerak). Untuk tes seperti itu mungkin tidak diberlakukan atau tuntutannya tidak sama persis dengan siswa lainnya.
c. Penentuan Keberhasilan
Penentuan keberhasilan berkaitan dengan cara atau pendekatan yang digunakan dalam menentukan criteria keberhasilan belajar. Misalnya apa criteria untuk megatakan bahwa seorang siswa dikatakan telah berhasil atau dinyatakan telah lulus, sehingga berhak untuk naik kelas atau lulus dari satuan pendidikan tertentu. Salah satu isu penting terkait dengan komponen ini adalah “apakah siswa berkebutuhan khusus harus tidak naik kelas, karena prestasi belajarnya yang rendah jika dibandingkan dengan siswa lainnya”?
d. Pelaporan Hasil Evaluasi
Pelaporan hasil evaluasi berkaitan dengan cara dan atau media yang digunakan untuk mendokumentasikan dan melaporkan hasi-hasil belajar yang dicapai oleh siswa. Termasuk di dalamnya isu tentang raport, ijazah dan atau surat tanda tamat belajar (STTB)
Hambatan yang dialami siswa berkebutuhan khusus menyebabkan pelaksanaan evaluasi pembelajaran harus dimodifikasi (dirubah) untuk disesuaikan dengan kemampuannya. Perubahan pelaksanaan evaluasi bagi siswa berkebutuhan khusus, mencakup empat komponen evaluasi yang telah dipaparkan sebelumnya dengan sifat dan kadar perubahan yang berbeda pada masing-masing komponen. Beberapa prinsip sekaligus cara yang penting dipertimbangkan oleh guru dalam melakukan modifikasi evaluasi, meliputi (1) siswa berkebutuhan khusus harus menjalani system evaluasi yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya, (2) perubahan (modifikasi) sistem evaluasi dilakukan terhadap empat komponen evaluasi, yaitu (a) isi/materi evaluasi, (b) cara pelaksanaan evaluasi, (c) kriteria keberhasilan, dan (d) model pelaporannya, (3) siswa ABK yang mengalami hambatan kecerdasan membutuhkan modifikasi evaluasi yang lebih signifikan dan pada banyak aspek evaluasi, (4) semakin berat hambatan kecerdasan, semakin signifikan perubahan (modifikasi) sistem evaluasi yang dilakukan.
6. Rencana Pembelajaran
a. Umum
Rencana pembelajaran adalah persiapan mengajar yang dibuat secara tertulis oleh guru sebelum pelaksanaan pembelajaran. Sebuah rencana pembelajaran minimal memuat uraian tentang lima komponen utama yaitu (1) rumusan tujuan pembelajaran yang akan dicapai, (2) rumusuan materi yang akan disampaikan, (3) kegiatan pembelajaran yang akan dilaksanakan, (4) informasi tentang sumber dan media yang akan digunakan dan (5) penjelasan tentang kegiatan evaluasi yang akan dilaksanakan untuk mengetahui tingkat keberhasilan pembelajaran.
Ada dua jenis rencana pembelajaran utama yang harus dibuat oleh guru yaitu (1) silabus, dan (2) rencana pelaksanaan pembelajaran/RPP. Silabus adalah rencana pembelajaran yang dibuat untuk kurun waktu satu semester. Rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) adalah rencana pembelajaran yang dibuat untuk satu atau dua kali pertemuan.
b. Silabus
Silabus umumnya dibuat dalam bentuk matrik (table) yang di dalamnya memuat 5 komponen yaitu (1) kompetensi dasar, (2) indikator keberhasilan, (3) kegiatan pembelajaran dan evaluasi, (4) alokasi waktu, (5) sumber dan media pembelajaran. Silabus biasanya dibuat untuk setiap mata pelajaran, dalam satu semester di suatu kelas. Oleh karena itu, silabus biasanya didahului oleh identitas mata pelajaran.
c. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
Rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) adalah rencana pembelajaran atau persiapan mengajar yang dibuat untuk satu atau dua kali pertemuan. Komponen-komponen yang dituliskan dalam RPP kurang lebih sama dengan silabus. Bedanya dengan silabus adalah bahwa RPP dibuat tidak dalam bentuk table tetapi uraian yang memanjang ke bawah. Perbedaan lainnya adalah jika silabus dibuat untuk satu semester, maka RPP dirancang hanya untuk satu atau dua kali pertemuan. Oleh karenanya, uraian rencana kegiatan dalam RPP biasanya lebih rinci/detail daripada silabus.
b. Perencanaan Pembelajaran Dalam Pembelajaran Inklusif
Merujuk pada uraian tersebut, terdapat dua jenis rencana pembelajaran yang seyogyanya dibuat oleh guru dalam konteks pembelajaran inklusif, yaitu (1) silabus dan (2) rencana pelaksanaan pembelajaran/RPP.
1) Silabus dalam Pembelajaran Inklusif
Sesuai paparan sebelumnya, ada 5 komponen pembelajaran yang harus dirumuskan dalam silabus, yakni (1) kompetensi dasar, (2) indikator, (3) kegiatan pembelajaran dan penilaian, (4) alokasi waktu, (5) sumber belajar. Pada dasarnya semua komponen tersebut boleh atau seharusnya dirubah (dimodifikasi) oleh guru supaya sesuai dengan kondisi siswa berkebutuhan khusus. Hal ini selaras dengan penjelasan sebelumnya bahwa siswa berkebutuhan khusus yang mengalami hambatan kecerdasan akan membutuhkan modifikasi pada hampir semua komponen dari kurikulum. Dengan kata lain mengalami modifikasi hampir pada semua komponen silabus. Sedangkan siswa ABK yang tidak mengalami hambatan kecerdasan hanya akan mengalami modifikasi pada beberapa komponen dari silabus. Oleh karena itu, contoh pengembangan silabus yang disajikan di bawah ini lebih mengarah kepada silabus bagi siswa ABK yang mengalami hambatan kecerdasan.
Untuk sementara disarankan bahwa ada tiga komponen dari silabus umum yang tidak perlu dirubah (dimodifikasi) yaitu (1) kompetensi inti (2) kompetensi dasar, dan (3) alokasi waktu. Namun perlu dicatat bahwa ini bukan rumus mati, artinya dalam kondisi tertentu komponen-komponen tersebut sangat dimungkinkan atau bahkan harus dimodifikasi, termasuk juga standar kompetensi lulusan (SKL). Akan tetapi karena pertimbangan kemudahan bagi guru maka untuk saat ini, dimodifikasi hanya pada 5 komponen yaitu (1) materi (2) indikator (3) kegiatan pembelajaran (4) media dan sumber (5) evaluasi. Berikut ini adalah contoh format silabus pembelajaran in klusif.
Format silabus pembelajaran inklusif
Mata pelajaran : ………………………………………………
Kelas/semester : ………………………………………………
Pertemuan : ………………………………………………
Waktu : ………………………………………………
Kompetensi Inti : ……………………………………………… (tidak dimodifikasi)
KOMPETENSI DASAR
INDIKATOR
KEGIATAN PEMBELAJARAN DAN PENILAIAN
ALOKASI WAKTU
SUMBER BELAJAR
Kompetensi dasar (KD)
· Dikutip dari kurikulum karena sudah tersedia dalam naskah kurikulum.
· KD secara umum (sementara) tidak perlu dimodifikasi, artinya sama dengan siswa lainnya.
· Kalau rumusan KD kondisinya agak spesifik dan operasional maka silahkan untuk dimodifikasi disesuaikan dengan kemampuan siswa berkebutuhan khusus.
Materi
· Dirubah (dimodifikasi) disesuaikan dengan kemampuan siswa berkebutuhan khusus.
· Dibuat oleh guru.
Indikator
· Dirubah (dimodifikasi) disesuaikan dengan kemampuan siswa berkebutuhan khusus.
· Dibuat oleh guru.
Kegiatan Pembelajaran
· Dirumuskan oleh guru.
· Dimodifikasi disesuaikan dengan kemampuan siswa.
· Contoh perumusan kegiatan dapat dilihat di penjelasan tentang kurikulum pada bagian tentang proses.
Alokasi Waktu
· Dirumuskan oleh guru.
· Pada umumnya disamakan dengan siswa lainnya. Artinya siswa ABK belajar dengan alokasi waktu yang sama dengan siswa regular.
· Dalam kondisi tertentu dimungkinkan waktu belajarnya berbeda (dimodifikasi).
Sumber dan Media
· Dirumuskan oleh guru.
· Dimodifikasi disesuaikan dengan kemampuan siswa berkebutuhan khusus.
· Cara pengadaan dan penggunaan media dapat dilihat di penjelasan khusus tentang media.
Evaluasi
· Dirumuskan oleh guru.
· Dimodifikasi disesuaikan dengan kemampuan siswa berkebutuhan khusus.
· Cara modifikasi dapat dilihat di pembahasan tentang evaluasi.
2) Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Dalam Pembelajaran Inklusif
Rencana pelaksanan pembelajaran (RPP) pada dasarnya sama dengan silabus. Di dalamnya tercakup 5 komponen sebagaimana disebutkan terdahulu. Sebagaimana dijelaskan di muka, bedanya dengan silabus adalah bahwa RPP disusun tidak dalam bentuk matrik (table) tetapi tersusun ke bawah. Prinsip dan cara modifikasi RPP juga sama dengan silabus. Standar Kompetensi Inti (KI), kompetensi dasar (KD) dan alokasi waktu tidak dirubah (tidak dimodifikasi), sedangkan komponen lainnya diupayakan untuk dimodifikasi. Dengan demikian, format umum RPP adalah sbb.:
Format Umum RPP Pembelajaran Inklusif
Mata pelajaran : ………………………………………………..
Kelas/semester : ………………………………………………..
Pertemuan : ………………………………………………..
Waktu : …………………………………….………….
· Standar Kompetensi (tidak dimodifikasi)
· Kompetensi Dasar (tidak dimodifikasi)
· Materi Pokok (dimodifikasi)
· Indikator Keberhasilan (dimodifikasi)
· Alokasi waktu (tidak dimodifikasi)
· Kegiatan Pembelajaran (dimodifikasi)
· Media dan Sumber Pembelajaran (dimodifikasi)
· Evaluasi (dimodifikasi)
3) Model RPP dalam pembelajaran inklusif
Ada dua model format RPP untuk pembelajaran inklusif bagi siswa berkebutuhan khusus, yang bisa dipertimbangkan oleh guru, yaitu (1) model RPP yang terintegrasi,
(2) model RPP yang individual.
a) RPP Terintegrasi
Model integrasi adalah model pengembangan RPP bagi siswa berkebutuhan khusus yang diintegrasikan (disatukan) dengan RPP untuk siswa lainnya. Jadi, dalam model ini guru hanya memiliki satu RPP, tetapi di dalamnya memuat dua rumusan perencanaan yaitu perencanaan untuk siswa regular dan rumusan (catatan khusus) untuk siswa berkebutuhan khusus. Untuk komponen-komponen yang tidak mengalami modifikasi, maka hanya ada satu rumusan (KI, KD dan alokasi waktu), sedangkan untuk komponen yang mengalami perubahan (modifikasi) maka akan ada dua rumusan.
b) RPP Individual
RPP Individual adalah model rencana pembelajaran yang dibuat khusus untuk siswa berkebutuhan khusus, artinya terpisah dari RPP untuk siswa lainnya (regular). RPP model ini sepenuhnya berisi perencanaan pengajaran untuk siswa berkebutuhan khusus dan bersifat individual. Selain berisi komponen sebagaimana RPP pada umumnya, RPP individual memiliki 2 komponen tambahan yaitu (1) identitas siswa dan (2) kemampuan siswa saat ini. Format RPP individual adalah sebagai berikut.
Format RPP Individual
Mata pelajaran : …...........………………………….……………………………………………..
Kelas/semester : ……………………………………………………………………….…………..
Pertemuan : ………………………………………………………………….………………..
Waktu : ………………………………………………………………………..………….
Identitas Siswa
Nama : ……………… Jenis kelamin : …………..…….. umur: ……………….…
Jenis hambatan: ………………… tingkat hambatan: ………………………….……
Alamat : …………………………………………………………………………………
Kemampuan saat ini : …………………………………….……………………………
· Kompetensi Inti
· Kompetensi Dasar
· Materi Pokok
· Indikator Keberhasilan
· Alokasi waktu
· Kegiatan Pembelajaran
· Media dan Sumber Pembelajaran
· Evaluasi
Pembelajaran untuk anak berkebutuhan khusus dalam seting inklusif pada dasarnya adalah sistem pembelajaran umum yang disesuaikan dengan kebutuhan anak berkebutuhan khusus. Oleh karena itu, rancangan pembelajaran inklusif harus berdasarkan pada analisis dan pemahaman terhadap kurikulum umum. Setelah itu dilakukan asesmen terhadap anak berkebutuhan khusus yang menjadi target pelayanan, sehingga dapat diketahui jenis hambatan, tingkat hambatan, kekuatan, kelemahan dan kebutuhan dari anak yang akan ditangani (ABK). Berdasarkan hasil asesmen, selanjutnya guru mengembangkan rencana pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan ABK. Langkah selanjutnya adalah melaksanakan proses belajar mengajar. Kemudian diakhiri dengan pelaksanaan evaluasi. Rangkaian kegiatan tersebut dapat digambarkan dalam bentuk skema sebagai berikut:
REFERENSI
Friend, Marilyn (2005). Special Education: Contemporary Perspectives for School Professionals. New York: Pearson Education Inc.
J. David Sminth (2006). Inklusi, Sekolah Ramah untuk Semua (editor ahli M.Sugiarmin dan MIF Baihaqi). Bandung: Penerbit Nuansa.
Moh. Amin (1995). Ortopedagogik Anak Tunagrahita. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Proyek Pendidikan Tenaga Guru.
Mulyono Abdurahman dan Sudjadi (1994). Pendidikan Luar Biasa Umum. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Proyek Pendidikan Tenaga Akademik.
Samuel A. Kirk, J.J. Gallagher (1986), Education Exceptional Children, New Jersey : Houghton Mifflin Company.
Turnbull, R., Turnbull, A., Shank, M., Smith, S.J. (2004). Exceptional Lives: Special Education in Today’s School. New Jersey: Pearson Prentice Hall.
Diantara isi Buku saya yang ke 3 dengan judul "Panduan Cerdas menangani ABK pada Program Pendidikan Inklusif"


2 komentar: